Asal Sentuhan Budaya di Indonesia dan Jawa Barat


                     Sentuhan Budaya dari India (Purwayuga 3)

Dalam tahun 1820-an, seorang Inggeris bernama Earl nernah melontarkan dua buah nama yang dianggapnya layak diberikan kepada kepulauan yang tcrlctak di antara benua Asia dengan benua Australia yaitu: "Hindunesian" dan   "Malaynesian".  Nama pertama diusulkannya berdasarkan kenyataan

kuatnya unsur kebudayaan Hinduistis yang tampak di Pulau Jawa yang pernah dikuasai oleh Inggeris. Nama kedua diusulkannya berdasarkan nama Bahasa Melayu yang menjadi bahasa pergaulan antar-pulau di kawasan ini.

Logan, seorang Inggeris lainnya, mendukung gagasan itu dalam tahun 1830. Logan sendiri cenderung memilih nama "Malaynesian". Akan tetapi kedua nama tersebut tidak pernah meluas di kalangan umum. Kelanjutannya baru terjadi tahun 1878 ketika seorang ahli etnologi Jerman bernama Adolf Bastian menggunakan kembali nama "Hindunesian" dalam bentuk "Indonesicn". Sejak itulah sebutan INDONESIA yang sebenarnya berarti "kepulauan Hindu" mulai populer di kalangan para ahli Ilmu Bangsa-bangsa dalam pengertian wilayah kebudayaan. Ke dalamnya termasuk Pulau Malagasi (Mada-gaskar), Taiwan dan kepulauan Philipina

Sementara itu di tanah air kita masih tetap dikenal istilah: India Depan untuk India, India Belakang (untuk Indo-China), India Timur (untuk Indo­nesia) dan India Barat untuk kepulauan jajahan Belanda di kawasan Laut Karibia. Baru kemudian dalam masa pergerakan nasional nama Indonesia diberi pengertian politik dan dijadikan lambang perjuangan tanpa memper-hatikan lagi asal-usul dan arti katanya. Nama ‘Malaynesian" sekarang digunakan oleh Malaysia.

Dari segi sejarah kita melihat bahwa unsur kebudayaan Hindu atau India-lah yang menjadi sumber awal kelahiran nama Indonesia. Hubungan budaya sekuat itu tentu bersumber kepada hubungan sejarah yang terletakjauhpada masa lampau. Tanah air dan bangsa kita pernah menerima dan mengalami sentuhan budaya dari India. Yang dipersoalkan oleh pan ahli hanyalah: dengan cara bagaimana sentuhan itu terjadi?

Jawabannya tentu bermacam-macam tergantung dari pandangan mereka masing-masing sebagai ilmuwan bahkan kadang-kadang tampak juga pengaruh kepentingan bangsa yang diwakilinya. Soalnya, penafsiran macam apa pun dalam sejarah adalah sah selama hal itu tidak menyangkut penggelapan atau pemalsuan data sejarah yang digunakan sebagai sumber.

Dalam proses sentuhan budaya yang berlangsung cukup lama dan imbas budaya yang dihasilkannya menjalar merasuki sendi-sendi kehidupan Bangsa Indonesia itu bermacam-macamlah tokoh pemegang peran utama yang di-tampilkan para ahli di atas pentas sejarah yang direkonstruksikannya. Ada yang menampilkan kelompok kesateria penakluk, ada yang menampilkan kelompok brahmana atau pendeta kelana, ada yang menampilkan kelompok pedagang yang aktif menularkan agama anutannya kepada relasi mereka di tanah seberang, ada pula yang mempertemukan raja-raja Indonesia dengan para pendeta India lewat undangan yang disampaikan dengan perantaraan kaum saudagar langganannya. Bahkan Prof. Poerbatjaraka dalam bukunya Kepustakaan Jawa berbicara tentang "sinyo-sinyo" dan "noni-noni" Hindu yang lahir dari perkawinan antara pria India dengan wanita Indonesia.

Namun di belakang layar pentas yang tampaknya simpang-siur itu terdapat dua hal yang pada dasarnya disepakati oleh para ahli. Pertama, jejak kebudayaan hinduistis yang terdapat di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, menunjukkan karakter "selera" tinggi yang di India pun hanya dimiliki oleh kelompok brahmana. Kedua, sentuhan budaya yang menjalarkan arus hindui-sasi itu terjadi di sepanjang jalur perdagangan internasional yang terjalin waktu itu.

Jadi, hubungan daganglah yang menjembatani peristiwa sentuhan budaya itu yang dalam hal ini tidak berarti para pedagang menjadi pelaku utamanya. Kisah pendeta Buda, Fa Hien (414 M) menunjukkan bahwa ia pun menum­pang kapal dagang waktu pulang ke tanah airnya dari India. Ia berganti kapal dan bertolak menuju negeri Cina dari salah satu pelabuhan di Jawa Barat.

Van Leur dalam bukunya Indonesian Trade and Society mengemukakan bahwa lembaga-lembaga perdagangan waktu itu bersifat commcnda. Di satu pihak terdapat pemilik barang yang pada umumnya terdiri atas para penguasa dan pembesar pelabuhan; di pihak lain terdapat para pedagang yang bcrtin-dak sebagai penjaja ("padler"). Mereka menjajakan dagangan milik commenda secara berantai dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya dengan menumpang kapal dagang. Tiap pedagang hanya membawa barang scbanyak yang dapat diangkut dan diawasinya sendiri sehingga jenisnya hams dipilih yang berukuran kecil, laku keras di pasaran yang ditujunya dan berharga tinggi.

Di perairan Nusantara arus perdagangan ini bergerak mengikuti pola angin musim yang tiap 6 bulan berganti arah. Di pelabuhan tujuan para pe­dagang itu melakukan transaksi dengan para pedagang langganannya yang juga pada umumnya mewakili kepentingan para penguasa dan pembesar setempat atau saudagar besar kerabat mereka.

Situasi perdagangan waktu itu diuraikan secara lebih terperinci lagi oleh Wolters dalam bukunya Early Indonesian Commerce. Ia lebih mengkhususkan sasaran dengan menimba informasi dari sumber-sumber Cina. Namun demikian, baik Wolters mau pun Van Leur hanya dapat mengungkap peran kapal dagang sebagai sarana angkutan yang digunakan oleh para pendeta dari India yang pergi menunaikan tugas misinya menyebarkan agama mereka ke dunia timur. Bagaimana kisah sentuhan budaya itu berlangsung pada awalnya hanya terjaring secara tak langsung. Hanya teori yang mencurahkan anggapan bahwa perdagangan meningkatkan kemakmuran dan keterbukaan pandangan para penguasa di Nusantara sehingga akhirnya mereka merasa perlu menghadirkan para cendekiawan Hindu, yang sempat dituangkannya.

Kisah awal hinduisasi itu tetap kabur karena sumber otentik yang meng-ungkapkan hal itu memang tak ada. Poerbatjaraka dalam desertasinya Agastya in den Archipel (1921) mengemukakan pula bahwa lakon wayang yang mengisahkan kepergian Bambang Kumbayana dari negeri Atas-angin ke Nusa Jawa sebenarnya berkaitan erat dengan masa awal sentuhan budaya Hindu di Nusantara. Menurut legenda yang dikenal di India Selatan dan di Bali, penyebaran agama Hindu di daerah-daerah seberang (di luar India) dilakukan oleh Maharesi Agastya alias Resi Kumbayoni. Tangan kiri sosok wayang Kumbayana yang kaku itu adalah tiruan dari tangan kiri patung Agastya yang selalu menaing kendi tempat air suci. Begitu pula halnya bentuk janggut wayang Kumbayana yang lancip meniru bentuk janggut patung Agastya. Pada wayang Kumbayana kendi itu dihilangkan untuk keleluasaan gerak.

Dalam kekosongan yang menghampakan fantasi itulah menurut hemat penyusun ada baiknya kita berkaca pada pandangan atau sebutkan saja fan­tasi para cendekiawan kita dari abad ke-17 yang telah berupaya menimba dan merumuskan ceritera masa silam dari sumber-sumber yang telah diwariskan oleh para lcluluirnya.

I’ustaka Rajyarajya i Bhiimi Nusantara mengisahkan proses hinduisasi penduduk Nusantara itu sebagai berikut:

"Dalam awal tarikh Saka datang orang-orang dari barat, yaitu: dari negeri Singa (Sri Langka), Salihwahana dan Benggala di bumi Bharatawarqa (India). Mereka tiba di Pulau Jawa dengan perahu. Mula-mula mereka menuju ke Jawa Timur, lalu ke Jawa Barat karena kejjatan perdagangannya dengan penduduk di sini. peribumi di sini asal-usulnya juga orang-orang pendatang dari kawasan benua utara yang leluhurnya tiba di sini beberapa ratus tahun lebih dahulu.

Barang-barang yang dibawa oleh para pendatang baru ini di antaranya: bahan pakaian, perhiasan yaitu: ratna, emas, perak, permata, mustika, obat-obatan, balian makanan serta perabot kebutuhan rumah-tangga. Ada pun bahan-bahan yang dibelinya di sini yaitu: rempah-rempah, hasil bumiseperti beras, sayuran dan sebagainya."

"Di antara mereka itu ada yang terus menetap di sini menjadi penduduk

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Bali. Demikian pula di Sumatera, Kalimantan dan lain-lain di pulau-pulau bumi Nusantara yang disebut juga Dwipantara. Karena penduduk Pulau Jawa telah menguasai berbagai ilmu, mereka sangat menghargainya, tidak bermusuhan dan kaum pendatang baru itu diterima sebagai tamu dengan penuh rasa kasili dan rasa pcrsaudaraan.

Kchidupan penduduk di sini makmur. Mereka menamakan pulau-pulau di bumi Dwipantara ini, terutama Pulau Jawa, laksana surga di muka bumi. Oleh karena itu mereka selalu merasa bahagia hidupnya. Demikianlah keadaan mereka itu selama tinggal di sini. Banyak di antara mereka memperisteri gadis di sini, kemudian beranak-pinak. Mereka mengetahui bahwa Pulau Jawa subur tanahnya subur tumbuh-tumbuhannya.

Oleh karena itu beberapa tahun kemudian datanglah orang-orang dari Langkasuka, Saimwang dan Ujung Mendini (Semananjung) ke Jawa Barat dan bumi Sumatera dengan perahu. Lalu mereka menetap di situ karena berjodoh dengan puteri penduduknya. Seterusnya mereka tidak kembali ke negeri asalnya). Sementara itu mereka masing-masing mendirikan rumah besar untuk tcmpat tinggal kcluarganya. Rumah itu diberi kaki maka disebut rumah panggung. Kolong rumali itu digunakan untuk kandang tempat hewan pcliharaan mereka.

Mereka itu bcrgabung untuk bcrgotong-royong (samakarya) membangun rumah, menebang pohon di hutan. Ikut pula bergabung ahli pembuat rumah (hundagi) dan pandai besi.

"Para pendatang dari India itu ada juga yang mengajarkan agama yang iliariutnya tlan menyiarkannya kepada penduduk di desa-desa. Mereka nicng-ajarkan pujaannya yang disebut Dewa Iswara yaitu: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang disebut Trimurtiqwara. Juga masih banyak dewa lain yang dipujanya selain itu. Walau pun demikian mereka tidak saling bertentangan dalam menyebarkan agamanya karena mereka berhasil menemukan cara yang tepat.

Penduduk di sini keturunan kaum pendatang juga. Sejak dahulu mereka memuja roh, api, bulan, matahari dan sebagainya. Singkatnya mereka itu memuja serba-roh. Kaum pendatang baru dari India Selatan itu telah menguasai berbagai ilmu karena mereka telah mempelajarinya di negeri asalnya. Mereka tidak menghalangi pemujaan yang dianut penduduk di sini. Hanya nama pujaannya yang diganti, disesuaikan dengan adat penduduk di sini.

Dengan cara demikian mereka tidak menemui kesulitan untuk mem­pelajarinya. Demikianlah pemujaan api disamakan dengan pemujaan Dewa Agni, pemujaan matahari disamakan dengan pemujaan Dewa Aditya atau Dewa Surya dan seterusnya. Ada pun pemujaan roh-besar disamakan dengan pemujaan Hyang Wisnu, Hyang Siwa dan Hyang Brahma yang disebut pemuja­an tiga-dewa atau trimurti. Tak lama kemudian banyaklah penduduk di sini yang memeluk agama baru itu."

"Sementara itu banyak di antara para pendatang yang menikahi puteri para penghulu penduduk desa. Kelak anaknya akan menggantikan kedudukan kakeknya. Oleh karena itu desa-desa di Pulau Jawa makin lama makin dikuasai oleh keturunan kaum pendatang. Demikian pula penduduk dan kekayaannya. Segera pula penduduk menjadi tidak berdaya. Penghulu desa itu telah di-junjungnya menjadi sang penguasa. Putera pendatang baru atau cucu sang penghulu menjadikan semua tanah sebagai miliknya atau berada di bawah kekuasaannya.

Sementara itu keadaan desa-desa tetap makmur dan hasil pertanian melimpah karena Pulau Jawa subur tanahnya. Demikian pula pulau-pulau lain di Dwipantara. Oleh karena itu antara tahun 80 sampai 320 Saka sangat banyak perahu yang datang dari berbagai negeri ke Pulau Jawa, diantaranya dari: negeri India, Cina, Benggala dan Campa. Banyak di antara mereka itu yang menetap di sini. Banyak pula di antara mereka itu yang membawa anak-istri beserta sanak-keluarganya; terus menetap di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara dan menjadi penduduk di sini."

"Ada yang datang membawa perahu besar, ada yang datang beserta pendeta agama Wisnu dan agama lainnya. Setiba di sini lalu mengajarkan agama mereka kepada penduduk desa. Kemudian mereka pun tinggal di situ. Ada pun pendeta agama Siwa datang di Jawa Timur dan Jawa Tengah meng­ajarkan agama mereka kepada para penghulu dan pemuka masyarakat di sana."

"Demikianlah di antara mereka yang datang di Pulau Jawa itu ada yang berniaga, menyiarkan agama, ada pula yang menyelamatkan diri dari bahaya serangan musuh dan huru-hara di negaranya yang menimbulkan pengungsian besar-besaran ke pulau-pulau di bumi Nusantara.

Kebanyakan di antara pendatang itu berasal dari keluarga Calankayana dan Palawa di bumi India. Dari dua keluarga inilah yang paling banyak datang menibawa perahu besar-kecil di bawah pimpinan Dewawarman dari keluarga Palawa. Mereka itu datang di Jawa Barat pertama kali untuk tujuan ber-dagang. Selanjutnya mereka selalu datang di sini dan kembali ke negerinya membawa .empah-rempah.

Di sini Sang Dewawarman telah bersahabat dengan penduduk pesisir

Jawa Barat, Nusa Api (Krakatau) dan pesisir selatan Pulau Sumatera. Dalam hal ini Dewawarman pun bertindak sebagai duta maharaja Palawa."

"Ada pun sang penghulu atau penguasa daerah pesisir barat Jawa Barat waktu itu bernama Aki Tirem alias Aki Luhur Mulya. Puterinya yang ber-nama Pohaci Larasati diperisteri oleh Sang Dewawarman. Tokoh ini oleh para mahakawi disebut Dewawarman Pertama.

Aki Tirem adalah putera Ki Srengga. Ki Srengga putera Nyi Sariti. Nyi Sariti puteri Aki Bajul Pakel. Aki Bajul Pakel putera Aki Bungkul yang ber-asal dari Sumatera bagian selatan yang pindah ke pesisir barat Jawa Barat. Ki Bungkul putera Ki Pawang Sawer yang tinggal di Sumatera bagian selatan. Aki Pawang Sawer putera Datuk Pawang Marga. Datuk Pawang Marga putera Ki Bagang yang menetap di Sumatera bagian utara. Ki Bagang putera Ki Datuk Waling yang tinggal di Ujung Mendini (Semenanjung). Datuk Banda putera Nesan yang tinggal di daerah Langkasuka. Leluhur Ki Nesan berasal dari Yawana bagian barat."

Demikianlah kisan ringkas sentuhan budaya Hindu di Jawa Barat me-nurut Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan. Dengan tokoh Dewawarman menantu Aki Tirem sejarah Jawa Barat memasuki masa kerajaan karena konsep kerajaan yang kemudian berkembang di kawasan ini bersumber kcpada tradisi India.

(Sumber: rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat – Kerta Mukti Gapuraning Rahayu)

Diterbitkan oleh Devi R. Ayu

A proud Mom of #babyD, Penulis, Penerjemah, Konsultan Komunikasi, dan Fasilitator Program Women Will dari Google Gapura Digital untuk kota Malang. Owner dari Cindaga Comms, konsultan komunikasi digital di kota Lawang, Malang.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.